Selasa, 15 Januari 2013

Nasihat untuk Ibu dan Calon Ibu

Sumber Republika: www.republika.com
REPUBLIKA.CO.ID, Di kediaman Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Kompleks Wisma Sejahtera Jl Fatmawati 6, Jakarta Selatan, setiap petang cukup ramai dengan kehadiran beberapa pasien untuk berkonsultasi. 

''Ya, sehari bisa 4 hingga 10 orang. Setiap orang biasanya saya terima sekitar 45 menit untuk menyampaikan berbagai persoalan hidupnya,'' kata wanita kelahiran Bukittinggi, 6 November 1929 itu mengomentari kesibukan yang telah ia jalani selama 30 tahun itu.

Ketika menerima Republika, Rabu lalu ia tengah sibuk ''mengobati'' seorang pasien wanita. Menjelang berakhirnya wawancara, seorang wanita muda diantar seorang laki-laki telah menanti. ''Memang yang paling banyak konsultasi itu wanita. Sepertinya laki-laki itu sombong tidak merasa punya masalah,'' katanya sambil tertawa. Prof. Dr. Hj. Zakiah Darajat memang dikenal ahli jiwa yang sering menggunakan pendekatan agama sebagai solusi pemecahan persoalan yang dihadapi pasien.

Guru besar IAIN Jakarta ini mulai membuka konsultasi kejiwaan sejak ia pulang studi dari Mesir. Setelah menamatkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Agama Islam, Yogyakarta 1955, ia memang memperoleh tawaran sekolah di Universitas Ein Syams, Kairo, Mesir. Ia memperoleh gelar doktor pendidikan dengan spesialis psikoterapi pada 1964 dari Universitas Ein Syams.
Sepulangnya di Tanah Air ia segera mengabdikan diri pada Departemen Agama. Menag ketika itu K.H. Saifuddin Zuhri menyarankan ia membuka klinik konsultasi di Depag. Sejak itu pekerjaan menasehati orang menjadi bagian hidupnya yang tak pernah lepas hingga kini. Terakhir, ia menjabat Direktur Pembinaan Agama Islam hingga pensiun pada 1984.

Setelah pensiun ia malah diangkat menjadi anggota DPA hingga 1988. Bersamaan dengan keanggotaannya di DPA, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Ruhama, lembaga pendidikan sejak TK hingga SMA yang berlokasi di Legoso, Cirendeu, Ciputat.

Rajin menulis dan berdakwah, penggemar olahraga renang di masa mudanya ini, kini sudah menghasilkan puluhan buku mengenai psikologi dan agama. Di antara bukunya Kesehatan Mental (Gunung Agung, 1969), Ilmu Jiwa Agama (Bulan Bintang, 1970), dan Problem Remaja Indonesia (Bulan Bintang, 1974). Akhir-akhir ini, ia menerbitkan sendiri bukunya lewat yayasan yang didirikannya, Yayasan Kesehatan Mental YPI Ruhama.

Dalam soal dakwah, sepertinya ia tak pernah lelah. Pada tahun 60-an ia bisa berceramah lima sampai enam kali sehari. Sering pula ia tampil di RRI, TVRI, dan kini di beberapa stasiun televisi swasta. Pernah ia berceramah secara berantai di 10 tempat tanpa henti. Anehnya, dalam setiap ceramah ia menemui orang-orang yang sama. Ternyata, mereka --rata-rata kaum ibu-- adalah penggemar setianya.

Pendapatnya tentang wanita, ''Saya senang mereka bekerja, tapi jangan sampai lupa kepada kedudukannya sebagai ibu. Kasihan anak-anak mereka,'' katanya. Ia pun bercerita banyak mengenai peran kaum wanita masa kini, terutama dalam pendidikan dan keluarga. Mengenakan kebaya bermotif kembang dan berkerudung merah jambu, tokoh wanita yang masih terlihat energik ini melayani wawancara Republika di ruang kerjanya. Berikut petikan wawancara itu: 

Sekarang ini banyak wanita yang bekerja di luar rumah. Lalu, anak-anak lebih banyak diasuh oleh pembantu daripada ibunya sendiri. Menurut Anda, apakah kondisi yang demikian ini yang menyebabkan anak-anak sekarang lebih nakal?

Kalau sikap keibuannya hilang ya membawa akibat, anak-anak menjadi terlantar, suasana rumah tangga pun terganggu. Ia terlalu sibuk sehingga melupakan peran keibuannya di rumah. Tapi, secara umum saya masih belum melihat itu meluas di Indonesia, lebih banyak hanya terjadi di kota-kota besar.

Bagaimana dengan kecenderungan wanita sekarang yang lebih mengutamakan sekolah atau karirnya sehingga menunda perkawinan atau enggan memiliki anak?

Ada memang yang demikian, tapi saya kira tidak banyak. Masih banyak yang ingin berkeluarga, ingin punya anak. Hanya saja, karena wanita-wanita itu masih sibuk belajar dan biasanya pilihan setelah sekolah nantinya bekerja, maka ia lebih mendahulukan bekerja. Tentunya, kalau ia akan berkeluarga, maka ia akan memilih-milih. Tidak seperti dulu yang hanya mengikuti perintah orangtuanya.
Tapi, saya sering menemukan di kalangan mahasiswi punya kecenderungan untuk segera menikah. Ini banyak. Tapi, bila ia sudah sarjana dan bekerja, memang akan punya pikiran lain. Kalau sudah bekerja, ia ingin menjadi wanita karir yang baik. Akibatnya, mereka lupa untuk berkeluarga. Nah, lupa inilah hal yang tidak baik. Dia boleh jadi pekerja yang baik, tapi kalau ia berkeluarga, maka ia harus menjadi isteri dan ibu yang baik.

Kira-kira, apa yang menjadikan mereka lupa?
Ya, mengejar prestasi. Misalnya, ketika dia masih sekolah pintar. Ketika bekerja, kalau tidak pintar rasanya tambah pusing. Sederhana saja, ia harus lebih berprestasi dari rekan-rekan kerjanya. Ia mengejar prestasi dan kalau bisa naik pangkat, dapat posisi baru. Ini manusiawi karena setiap orang punya keinginan seperti itu.

Bagaimana pendapat Anda tentang kaum wanita yang ingin berkarier?
Boleh saja, asal ia tidak meninggalkan kewanitaannya. Wanita itu dalam pandangan Islam harus pandai menjaga diri, tidak mudah tergoda, berpakaian sopan, tetap mencintai rumah tangganya, bertanggungjawab, hak dan kewajiban sebagai istri dan ibu itu harus ia tunjukkan. Jadi tidak terlarang dia berkarir. Tapi, kalau di rumah tangga, sebagai istri ia menganggap suaminya teman kantor, ya ceritanya jadi lain. Ah saya juga capek, ini nggak boleh. Sebagai istri, di rumah ia harus pandai menempatkan diri di hadapan suaminya.

Kenyataannya, banyak wanita karier yang menuntut dirinya sejajar dengan suaminya?
Bisa saja, tapi dengan kesepakatan. Artinya, ia mendapat gaji sama dengan suaminya atau bahkan lebih. Ia tidak boleh menyombongkan hal ini. Saya juga kerja, saya juga capek. Gaji saya lebih besar dari kamu. Itu tidak boleh disebut. 

Kalau begitu, beban wanita lebih besar karena harus berperan ganda?

Bila dia sadar dan melaksanakan tugasnya sebagai wanita, dalam bekerja ia bisa membagi waktu. Ia akan mengatur, porsi untuk bekerja sekian, untuk anak sekian, dan untuk keluarga sekian. Jadi, ketika ia bekerja, ia ingat, saya ini ibu lho, saya ini seorang istri. Intinya, jangan lupa akan semua hal yang mengikat dirinya sebagai wanita dan ibu rumah tangga. 

Tapi, godaan untuk memerankan kedua hal itu cukup besar. Di kantor ia dituntut untuk mampu mengaktualisasikan diri. Akibatnya, urusan rumah tangga dia serahkan kepada pembantu rumah tangga, urusan anak diserahkan kepada pembantu?

Ia boleh saja menyerahkan kepada pembantu rumahtangga hal-hal tertentu, seperti mencuci, menyetrika, dan memasak. Tapi, soal menu makanan tetap ia yang tentukan, bukan pembantu. Mengurus anak, baby sitter boleh saja, tapi sebaiknya yang mengurus anaknya dia sendiri. Cuci pakaian anak boleh saja pembantu, tapi yang memberi makan, menyusui anak harus dia. Anaknya yang merengek, dia harus tangani. Kalau semua ini dia jalankan secara ikhlas, seninya akan ia temukan dan tidak akan merusak rumah tangga.

Kalau dia jadi pegawai, dia nggak usah lembur, cukup laki-laki saja. Sekarang, dengan adanya kebijakan bekerja hingga pukul 4 sore, saya rasa akan lebih merepotkan kaum ibu. Saya lebih setuju, untuk kebaikan kaum ibu bila kerja kantor sampai pukul 2 saja. 

Alasannya?

Bagi anak kecil, ia tidak akan sanggup membiarkan ibunya terlalu lama di luar rumah. Paling lama, dalam toleransi terbaik sekitar 5 jam. Kalau sudah pulang pukul 16.00, sampai rumah pukul 17.00, kepalanya pusing, anaknya merengek dan ia marah-marah, bisa rusak semua. Itu berat buat kaum ibu. 

Secara psikologis, apa dampaknya?
Bagi anak kecil, usia 2-5 tahun pernah dilakukan penelitian di Inggris. Yang paling menyenangkan buat anak, ibunya bekerja di luar rumah antara 3-5 jam sehari. Itu yang ideal. Yang sangat penting, kualitas hubungan ibu dan anak itu bagus. Jadi, bukan kuantitasnya. Kalau ibu seharian di rumah dan si anak selalu dimarahi, ya tidak baik untuk anak. Sebenarnya, wanita itu paling baik bekerja untuk kepentingan anaknya. Kalau dia di rumah, anaknya justru direpotkan ibunya.
Ia bermain, si ibu melarangnya, jangan nanti jatuh. Dia mau melakukan sesuatu sang ibu banyak membatasi. Jadi, terlalu banyak larangan membuat sang anak tertekan. Wanita itu, juga ada kebosanan secara tersembunyi bila ia terus menerus di rumah. Tapi, kalau dikatakan bosan di rumah itu juga tidak mau, dianggap ibu yang tidak baik. Tapi, yang pasti ada kebosanan tersembunyi. Ia butuh udara lain, aktivitas lain. Saya rasa, kalau pekerjaannya tidak sampai larut sore tidak ada masalah. 

Lalu, apa kiat untuk membuat anak tidak merasa kehilangan ibunya?
Buatlah sang anak itu rindu kepada ibunya, demikian pula sebaliknya. Kalau dirindukan anak itu menyenangkan. Kalau anak itu lebih dekat kepada pembantunya, maka ia akan sulit rindu kepada ibunya. Akibatnya, anak akan kehilangan figur orang yang paling dekat dengannya. 

Ketika anak makin besar, interaksi dari ibu semakin dibutuhkan. Padahal, kegiatan ibu juga besar. Apakah hal ini juga menjadi sebab anak berperilaku menyimpang?
Harusnya perhatian semakin besar. Tapi, meski waktunya sedikit, sebaiknya ia dalam situasi terbaik ketika berhadapan dengan anaknya. Bisakah usai kerja di kantor, ia memberi perhatian yang menyenangkan buat anaknya sehingga anak merasa diikuti dan diperhatikan terus menerus. Libur kerja itu, paling baik diperuntuk bagi keluarga. Tidak mesti ke luar rumah atau pergi ke restoran mahal. Cukup masak makanan kesukaan bersama dan makan di rumah. Yang penting ada perhatian.

Bagaimana pun sibuknya orangtua, mereka harus terbuka hati untuk mendengarkan semua keluhan anaknya. Jadi fungsinya untuk menampung uneg-uneg anaknya. Anak yang memiliki orangtua demikian tidak akan melakukan hal yang buruk. Kenapa? Karena ia merasa orangtuanya begitu memperhatikannya, sehingga ia tidak tega orangtuanya bersedih. Maka, jadilah pendengar yang baik dalam semua persoalan yang dihadapi anak. Jangan jadi penceramah di hadapan anak, itu akan membosankan diri mereka.
Diskusikan semua persoalan, jangan tekan mereka dengan kemarahan kita. Berbeda dengan orangtua yang tidak memberi perhatian kepada anak-anaknya, mereka akan mencari tempat menyampaikan semua keluhan di luar rumah. Padahal, kawannya atau orang di luar rumah tidak berbeda dengan dirinya pula yang mendapat tekanan. Akibatnya, ia akan melampiaskan semua persoalan kepada hal-hal yang buruk, berkelahi atau yang lainnya.

Kalau begitu, kunci persoalan ada pada komunikasi?

Betul sekali. Kalau komunikasi lancar dengan kedua orangtua, sang anak tidak akan menumpuk persoalan dalam dirinya. 

Bagaimana dengan faktor luar yang mempengaruhi?

Pengaruh faktor luar bisa saja, tapi kalau pada dasarnya di dalam sudah menumpuk, maka faktor luar hanya akan menambah beban berat saja. Tapi, kalau di dalam lancar, maka faktor luar tidak akan mempengaruhi. Kita sering menyebut banyak anak nakal, tapi sudahkah kita menciptakan lingkungan yang memberi perasaan tidak nakal kepada anak-anak. 

Bagaimana dengan pengaruh berbagai tayangan di televisi?

Kalau orangtua tidak sempat mendidik, apa yang di TV pasti akan ditirunya. Itu berbahaya sekali. Untuk mengurangi bahaya itu, ia harus akrab dengan orangtuanya. Kalau orangtua kuat dalam menjalani ajaran agama, maka sang anak akan meniru, menyerap tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau di rumah ibu dan bapak membiasakan salat berjamaah, maka anak akan ikut dan pengaruhnya besar sekali buat perkembangan jiwa anak. Itu pendidikan agama, demikian pula perilaku orangtua. Kalau mereka suka membentak pembantu, maka anak juga akan menirunya. Ini bahaya. Karena di televisi, tidak semua nilai yang diharapkan muncul selamanya, maka proses identifikasi dari anak lewat telivisi, terutama bila pemainnya orang Indonesia. Memang berat tugas orangtua sekarang dibanding orangtua di masa lalu.

Apa yang dilihat oleh anak-anak, jauh lebih berbahaya daripada apa yang didengar. Kalau yang dilihat baik, tidak persoalan. Tapi, kalau yang dilihat buruk, maka akan mudah ditiru. Di sini saya usulkan agar semua produk televisi itu tidak menampilkan hal-hal yang berbau kekerasan, perkelahian, pembunuhan. Kita kan tidak ingin anak-anak kita meniru hal-hal yang demikian. Kenapa kita cekoki anak-anak dengan berbagai adegan kekerasan. Film Indonesia lebih bahaya dibandingkan film asing, karena anak-anak lebih mudah mengidentifikasikan diri dengan orang sebangsa. 

Tapi, bukankah hal itu tidak mungkin dihilangkan dalam kondisi sekarang?
Kita bisa mengurangi dan melakukan pilih-pilihan. Seleksi ketat harus dilakukan untuk film-film anak-anak dan remaja. Kita sering menyalahkan anak-anak, tapi contoh yang ia tonton demikian buruknya. Memang sebaiknya, orangtua mendampingi ketika sang anak menonton dan mengomentari, tapi apa ada waktu. 

Sulitnya, nasehat orangtua sekarang sering tidak didengar anak-anaknya, sepertinya orangtua sekarang ini kurang berwibawa?

Wibawa itu dibangun karena kasih sayang, bukan karena ketakutan. Ia bisa saja patuh karena takut, namun hal itu akan ia ulang kembali dan bersikap masa bodoh. Tapi, kalau dasarnya kasih sayang, maka anak akan tidak tega menyakiti atau membuat sedih orang yang menyayanginya. Persoalannya, masih adakah kasih sayang sehingga anak akan hormat kepada orangtuanya. 

Anda pernah menyatakan bahwa agama pegang peranan penting dalam solusi problem keluarga. Bisa dijelaskan lebih jauh?

Itu betul sekali. Kalau agama bisa terpegang penuh oleh sang anak, maka ia akan terlatih untuk dekat dan senang dengan agama. Jadi, bukan terpaksa. Dia rasakan Allah itu dekat, dia berdoa ketika ibu-bapaknya terlambat pulang. Ini penting dalam mengantisipasi ketika sang anak memasuki masa-masa berbahaya di usia remajanya, usia antara 13-15 tahun. Boleh dibilang negeri kita ini mundur dalam masalah moral. Dalam hal ini film Indonesia punya peran besar untuk melanggar semua nilai agama. Sejak kapan agama mentolerir laki-laki dan perempuan itu peluk-pelukan. Hal seperti ini akan mudah ditiru anak-anak remaja.

Punya pengalaman dalam menangani anak-anak bermasalah?

Pernah. Ketika saya berada di Mesir sekitar 1958. Sambil melakukan studi untuk S3, saya nyambi latihan di klinik jiwa. Kebetulan penelitian saya tertuju kepada anak umur 6-12 tahun dengan tema alat-alat permainan untuk menghilangkan emosi. Jadi, permainan sebagai pengobatan kejiwaan. Ini yang jadi disertasi saya. Banyak persoalan yang saya amati ternyata permainan bisa menangani masalah kejiwaan anak-anak. Mereka mengungkapkan emosinya lewat merusak alat-alat permainannya.

Apa itu juga dilakukan di Indonesia?

Tidak lagi, karena permainan yang banyak beredar di sini lebih banyak menggunakan listrik. Jadi, tidak mendidik dan tidak mampu menjadi alat pengungkapan emosi. Anak-anak sekarang perlu alat-alat permainan yang murah, namun bisa menjadi saluran pengungkap emosi. 

Apa aktivitas Anda saat ini?

Kalau tidak mengajar di IAIN, ya menerima pasien. Hanya di hari Sabtu dan Ahad saya tidak mau terima pasien. Untuk istirahat saja. Selain itu saya juga menulis. Hampir semua contoh-contoh yang ada dalam buku saya tentang masalah remaja, psikologi, dan kesehatan mental berasal dari pengalaman saya memberi nasehat kepada pasien. Selain itu, saya juga menjadi Ketua Yayasan Pendidikan Ruhama yang membuka pendidikan sejak TK, SD, SMP, dan SMA. Kalau berdakwah, ya kadang di radio dan televisi. 

Ada pengalaman menarik dalam mengobati pasien?

Pernah ada seorang anak kecil dibawa ibunya menghadap saya. Anak itu ternyata sudah seminggu tidak mau bicara dan makan. Kedua orangtuanya bingung menghadapi sikap anaknya itu. Saya berusaha membujuk anak itu. Tapi sia-sia. Anak berusia lima tahun itu tetap saja tidak mau bicara dan makan. Saya lalu memanggil ibunya. Saya tanyakan, apakah anak itu melihat suatu kejadian yang tidak mengenakkan di rumahnya. Dengan jujur sang ibu mengatakan bahwa ia dan suaminya seminggu lalu bertengkar di hadapan anak tersebut, bahkan menyebabkan sang anak menangis. Saya lalu mengerti, anak itu mengalami trauma akibat pertengkaran kedua orangtuanya.

Untuk penyembuhan sikap kelainan anak itu, saya memutuskan untuk meminta kedua orangtuanya berkonsultasi selama tujuh pertemuan. Satu tahun kemudian, saya bertemu dengan keluarga tersebut di jalan raya, mereka tampak bahagia. Saya katakan pada anak itu yang sudah bertumbuh besar, apa kamu masih tidak makan. Dengan tersipu-sipu anak itu menjawab, Nggak Bu. Sekarang saya sudah makan. Orangtuanya tertawa ketika itu. 

Pasang tarif setiap kali praktek?

Tidak. Hanya saja, banyak yang tidak enak sendiri dan memberi uang. Saya katakan kalau merasa sungkan terserah saja, pokoknya saya tidak meminta uang atau memasang tarif. Uniknya, kadang mereka tidak memberi uang, tapi memberi oleh-oleh. Kalau musim buah, wah saya selalu dapat buah-buahan segar. Pernah orang bawa durian besar, dia bilang ini baru jatuh semalam di kebun, untuk Ibu. Saya sih senang saja. He..he..he. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar