Minggu, 08 Januari 2012

Apakah Kekayaan yang Menjadi Jawaban?

Sejak pertama kali datang ke negeri ini, Jepang, penulis masih penasaran tentang banyak hal. Antara lain: kejujuran, profesional, aman, dan sikap menghargai orang lain.
Kehidupan sosial di Jepang, khususnya di daerah Tokyo dan sekitarnya terlihat individual. Sekalipun tinggal dalam gedung apatemen yang sama, belum tentu mereka saling mengenal. Mereka tidak mudah menerima orang lain masuk dalam lingkungan mereka. Mungkin istilah yang tepat bagi mereka adalah apatis, asyik dengan dunia mereka sendiri. Berjalan cepat, banyak diam, tidak betegur sapa adalah ciri mereka. Sebagian besar mereka kecanduan dengan ponsel, hampir di setiap tempat, kita akan mudah menemui mereka yang sedang asyik dengan ponselnya. Namun demikian, mereka adalah masyarakat yang gemar membaca. Bisa dipastikan bahwa jika tidak memegang ponsel, maka memegang novel atau buku bacaan.

Yang menarik dari mereka adalah sikap kejujuran, profesional, dan menghargai orang lain. Hampir di setiap layanan publik, penulis merasa puas, sekalipun kadang tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, dikarenakan kendala bahasa. Mereka profesional dan sangat menghargai orang lain khususnya pelanggan. Muka cerah dan penuh dengan senyum adalah layanan standar yang mereka lakukan. Mereka akan membantu pelanggan dengan maksimal. Sebagai contoh, layanan bank. Bank di Jepang akan menutup layanannya pada pukul 15.00, akan tetapi jika pelanggan datang sebelum jam 15.00 akan tetap dilayani sampai keperluannya selesai.
Selanjutnya adalah keamanan. Banyak pedagang dan penjual yang tidak mengawasi dagangannya, dan seolah membiarkan bagitu saja, sementara dia asyik di balik komputer.
Kehidupan religi di Jepang tidak terlalu terasa, kebanyakan mereka cenderung asertif, menerima semua agama. Mereka mengenal Kristen, Budha, dan Shinto. Shinto adalah agama asli dari nenek moyang mereka, sementara Budha merupakan pengaruh dari China, dan Kristen adalah pengaruh dari Eropa. Mereka biasa merayakan Natal, tetapi juga pergi ke kuil-kuil Budha. Dari salah seorang penduduk Jepang yang penulis kenal, ia menyatakan bahwa masyarakat Jepang mempunyai lebih dari 1 (satu) juta Dewa. Agama bagi mereka bukan sebagai jalan hidup, tetapi hanya sebagai budaya. Akulturasi agama yang terlihat, sebagai contoh adalah saat penikahan mereka akan ke gereja tatapi untuk sembahyang, mereka akan ke kuil.
Dari fakta tersebut, menurut hemat penulis, ada yang aneh. Mengapa mereka bisa menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sedangkan mereka nyaris tidak beragama?
Penulis mencoba bediskusi dengan teman mahasiswa, mereka menjawab hal tersebut terjadi karena kehidupan mereka sudah makmur, penghasilan yang tinggi, dan kaya. Jawaban serupa juga di nyatakan oleh salah satu penduduk Jepang, mereka berpendapat bahwa hidup mereka harus kaya. Namun, jawaban tersebut belum memuaskan penulis. Banyak faktor yang ingin penulis ketahui, dari mana nilai-nilai kemanusiaan itu mereka tanam, apakah berasal keluarga, pendidikan?

4 komentar:

  1. mas koq di tampilan blognya ada iklan2nya sih mas... di sebelah kanan itu.. dihapus sepertinya lebih rapi deh ^^ saran aja.

    BalasHapus
  2. Iya, pada awalnya untuk cari penghasilan sampingan. Karena per klik bernilai Rp.350. Tapi, sepertinya tidak ada yg klik. :(
    Baiklah, mungkin sebaiknya memang di hapus saja.

    BalasHapus
  3. iklan2nya "obat kuat" gitu mas???? sama agak2 berbau gimana gitu. hehehe...

    BalasHapus
  4. ok,terimakasih atas sarannya.

    BalasHapus